Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Kamis, 23 Juli 2020

Rumah Tanpa Pagar

Pekarangan rumahku masih tanpa pagar. Selepas ayah pergi, setelah ibu temukan pengalihan atas rindu dan rasa sakitnya yaitu kuncup-kuncup jasmine yang mekar tiap sepertiga malam sampai subuh menjelang, tidak ada keputusan, atau memang sebenarnya takkan pernah ada. Sebab, memagar berarti membatasi pandang, dan ibu tak suka.


Pintu rumah kami masih sering terima ketukan. Entah sanak saudara, tetangga sekitar, atau bahkan orang-orang asing; mengaku sebagai kenalan ayah. Dari lebih banyak paruh waktu hidupnya, ayah hadir dalam ragam lingkaran sosial dan kupikir, itulah yang tengah coba ia wariskan pada kami; hubungan baik dari manusia ke manusia.

Aku telah kembali bekerja. Pergi sebelum dhuha dan pulang selepas ashar. Sepeda motorku, sepeda motor pemberian ayah, adalah satu dari sekian kenangan yang akan terus membawaku padanya.

Petang hari, ibu akan duduk di tepi jendela. Matanya dipenuhi cahaya venus, hangat. Menyambut anak-anaknya pulang dengan riang, merentang tangan demi sebuah pelukan. Ibu semakin sering sendirian, dan kupikir hal tersebut barangkali menyedihkan buatnya.

Rumah kami tetap hidup. Namun, jelas, tak seramai biasanya. Tidak riuh. Pun kurasa, kami semua kini semakin mudah diterpa rindu. Merindukan yang sudah tak bisa digenggam atau diajak bicara. Merindukan seseorang yang sebenarnya menemui keabadian. Merindukan dengan cara paling sederhana; menangis diam-diam.

Di beberapa kesempatan, kudapati ibu memeluk hampa kemeja kesayangan ayah. Senyumnya rekah meski pandangan itu kosong. Kutangkap cinta tiada lesap yang senantiasa ibu kirimkan di tiap-tiap lima waktu dalam sehari. Kupikir, ketimbang kehilangan kekasih, ibu barangkali lebih merasa ditinggalkan oleh sahabat sejati. Afeksi yang ibu miliki terhadap ayah mungkin bukan sekadar debar dada tak beraturan kala bertatap mata, atau semu merah malu-malu di kedua pipi saat berbagi canda. Ibu dan ayah menghabiskan lebih dari separuh waktu yang mereka punya untuk saling mengerti dan menerima. Cinta bukan awal namun menjelma akhir.

Beranda rumah meski masih sering terisi, kini entah bagaimana terasa lebih suram. Hanya ada segelas teh milik ibu, tanpa gelas berisi kopi kepunyaan ayah. Hanya tersedia hening suara, walau gegap gempita memenuhi kepala.

Ibu jadi lebih diam. Ibu jadi lebih banyak memendam. Padahal dulu, ayah bilang, ibu adalah rekan berbagi begitu banyak dan tak pernah bisa redam. Ibu selalu secerah mentari jelang tengah hari dan ayah suka. Ibu menerangi yang gelap tanpa membakar, memeluk tanpa membuat sesak, menggenggam tanpa menyakiti. Ibu bagi ayah adalah poros dan akan terus membawanya ke titik mula tanpa rasa percuma.

Ayah memang sudah pergi sekaligus pulang. Ayah memang telah sejauh hembus angin, setinggi lapis ozon bahkan sedalam inti bumi. Ayah adalah semua definisi tak tergapai, meski tak pernah sebenar jauh. Ayah tetap tinggal pada tetes air mata, di setiap canda tawa, dalam seluruh doa-doa.

"Kami bukan teman." Suatu ketika, cerita yang pernah ayah kisahkan terngiang. "Ayah dan ibumu ini, musuh tapi menikah."

"Kami saling menyalahkan sekaligus tak ingin kalah. Kami menganggap masing-masingnya rival dan tak sudi menjadi lebih dekat dari separuh meter jarak."

Aku ingat, kala itu, ibu yang tengah memasak nasi goreng pada Ahad pagi tertawa renyah. Ayah menyesap kopinya, melanjutkan.

"Tapi, bertahun kemudian, ayah mulai melihatnya berbeda. Ibumu bukan lagi perempuan yang akan melotot ketika berbagi pandang. Ia bahkan suka cita memberi senyum ramah pada siapa saja. Ayah pikir, apa salahnya mencoba? Lantas, kami bertemu pertama kali setelah sepasang tahun terlewati, di rumah kakek nenekmu. Ibu terkejut namun tetap menyambut."

"Apakah saat itu ayah mencintai ibu?" Tanyaku, merasa tertarik.

"Cinta? Mana mungkin." Ibu menyela. Meletakkan sepiring besar nasi goreng. Duduk di antara kami.

"Bagaimana dengan sekarang?"

Pandangan ayah menerawang, ibu pun demikian. Barangkali, di detik itulah kusadari, pancaran mata ayah memiliki binar secerah milik ibu. Senyumnya, tawanya, cara ayah melempar satu dua gurauan. Tampak mirip, terlihat serasi.

"Kami berjanji untuk bersahabat hingga akhir hayat."

Hingga akhir hayat.

Mereka bekerja sama dengan amat baik, pikirku. Tidak ada yang meninggalkan salah satunya, atau terlalu banyak menuntut hingga berakhir rapuh. Ayah yang sebenarnya pemalu, dan ibu yang selalu mampu mendorongnya melampaui zona nyaman. Ayah yang memiliki begitu sedikit persediaan kata, dan ibu yang tak pernah habis membagi tiap jengkal cerita, membuat ayah terpacu, menjadikan ayah sedikit demi sedikit tak merasa sulit dalam temukan tempatnya. Ayah menjadikan ibu rekan bertukar pikiran bahkan penasihat paling bijak. Ibu yang menciptakan ruang bagi ayah untuk menjadi dirinya. Berdua, mereka habiskan lebih dari separuh kisah kehidupan.

Ibu kini sering memandangi kolam ikan yang dibuat ayah untuk ikan koi kesukaannya. Barangkali mereka ulang sederet kalimat apa saja yang pernah mampir ke telinganya, juga balasan macam apa yang ia lemparkan bersama ayah.

Rindunya tak pernah surut, cintanya tak pernah habis. Kepada separuh jiwanya yang lain, ibu tak pernah memberi setengah hati atau antara iya dan tidak. Bagi ibu, ayah adalah yang akan selalu menempati satu relung khusus; di hatinya, dalam kepalanya, di tiap jengkal harinya.

Bagi ayah, tanpa pria kesayangan kami ungkapkan, ibu adalah semesta tempatnya berpijak. Konstelasi bintang yang betah ia pandangi malam-malam. Juga suaka yang menjadikan dirinya selalu jatuh cinta ribuan kali dalam keseluruhan waktu pada orang yang sama.

Bagiku, ayah adalah cahaya kecil yang membuat ibu tetap tertahan dalam ikatan gravitasi. Tanpa masing-masingnya, mereka masai.
Kacau balau.

Palembang, 23 Juli 2020
Siti Sonia Aseka

Sabtu, 04 Juli 2020

[CERPEN] Ganjil

Bertemu Waffle dan Muffin

Bahkan yang sempat terasa genap juga dapat kembali sentuh bilang ganjil. Inilah landasan awal dari ungkapan sesungguhnya atas 'tak pernah ada satupun setapak yang menuntun pada arah melampaui limit selamanya.'

_____

Dia temanku. Bila tidak terdengar luar biasa percaya diri, sejujurnya barangkali aku mampu memberi label 'teman baik' pada Waffle.

Nama yang unik, terdengar manis sekaligus lucu. Mendapati ia tersenyum dengan sepasang gigi kelinci bagiku untuk beberapa waktu terasa lebih dari sekadar keajaiban.

Pada Januari ketika salju perlahan mencair, aku duduk di tepi jalan berhadapan dengan 'rumah pelarian'. Meratapi nasib harus ditendang sementara dari kota asal karena secara tak terkendali menyebabkan keributan dengan beberapa anak nakal di sekolah. Well, meski kini julukan nakal itu sendiri terpatri tepat di tengah kening, aku lega setidaknya mampu melemparkan satu-dua tinju di wajah tukang bully sebelum pada masa kenaikan kelas nanti, aku akan benar-benar resmi dipindahkan kemari; menjadi gadis desa dadakan sekaligus grandparent's sitter bagi kakek dan nenek.

"Aw!"

Aku mengerang, meraba belakang kepala yang terkena lemparan entah apa, tidak tahu dari mana. Secepat kilat berbalik, kudapati seorang anak laki-laki berjalan mendekat. Asumsiku segera melecut angkara ketika mendapati diriku baru saja menjadi victim atas perang bola salju. Topi buluku tertutup bulir putih yang terasa beku.

"Oops, sorry. Kukira kamu adikku."


Aku mengangkat dagu, melotot. Waspada sebab tak ingin dijadikan samsak pukulan serupa kala masih berada di lingkungan rumah lama.

"Kak!"

Aku menelan umpatan yang nyaris melompat keluar dari mulut, ketika sosok kecil barangkali berusia tak lebih dari enam tahun hadir dari belakang punggung. Wajahnya memerah dan langkah kaki itu meninggalkan jejak mungil di antara setumpuk salju.


"Sudah kubilang jangan berkeliaran terlalu jauh! Bangun bentengmu dan jangan coba-coba melarikan diri."

Anak laki-laki tersebut menggerutu. Sementara sepasang bola mata sang adik abai, justru menatapku fokus, penuh tanya. Bibirnya mengerucut, "Hei, aku baru melihatmu di sini. Biasanya hanya ada kami bocah yang menghuni kompleks."

"Di mana rumahmu?"

Si gigi kelinci, begitu aku menyebut bocah pelempar salju barbar tadi, mengangkat alisnya, bersidekap.

Aku menunjuk rumah kakek dan nenek separuh ragu. Kepalaku tanpa sadar dimiringkan. "Kalian sedang bermain perang salju ketika bahkan salju sudah mulai mencair begini?"

"Yah, melakukan sesuatu ketimbang mati bosan. Libur panjang kali ini entah bagaimana mulai terasa menyiksa."

"Siapa namamu?" Ia bertanya lagi ketika dengan gesture mengisyaratkan menepi. Sebuah rumah berpagar cokelat tua yang kami dekati tampak terbuka sedikit. "Aku Waffle, dan ini adikku, Muffin."

Waffle dan Muffin?
Okay. Orangtua mereka pastilah membuka toko kue atau semacamnya.

"Pancake, I guess?" Berusaha melucu, kudapati Muffin tersenyum lebar, menampilkan beberapa celah ompong dalam mulut.

"Hei, ayolah!" Protes Waffle, cemberut. "Kupikir lelucon seperti itu sudah berakhir bertahun-tahun lalu."

"Aku suka dia!" Muffin melompat senang, menunjukku. "Aku mau jadi temannya."

Well, aku terkesiap.
Teman.

Satu kata itu menghantam dalam beberapa detik kelewat singkat. Jujur saja, aku tak pernah mau repot-repot terjebak dalam relasi bernama pertemanan. Tidak dengan siapapun. Apalagi bocah 6 tahun bergigi susu dan pipi memerah kedinginan.

"Tidakkah itu terlalu cepat?" Waffle menghela napas, tampak sabar. "Jadi, namamu?"

Dua detik kulewati bersama bimbang. Anak lelaki tersebut mengulurkan tangan, mengajak bersalaman.

"Maple. Maple Wattson."

Sepasang netra milik Waffle menghadirkan kemilau asing ketika kami bertatapan. Aku tidak pernah menemukan binar yang sama dalam diri siapapun sebelum hari ini.

"Datanglah untuk makan malam kapan-kapan. Ibuku senang menjamu tamu."

Ajakan Waffle sebenarnya kelewat ringan. Aku hanya perlu mengangguk dan melupakan ketika selangkah memasuki pintu, pulang. Barangkali ia hanya sekadar basa-basi demi menjaga sopan santun. Tidak perlu dianggap serius. Toh, ia hanya bocah aneh yang kutemui kurang dari dua jam.

Namun, beberapa hari kemudian, nenek dengan gembira mendorongku keluar ketika Waffle mengetuk pintu, mengudarakan ajakan kemarin lusa dan membuatku stagnan dengan dada bertalu.

Aku benci keadaan di mana diriku bahkan tak bisa berkata tidak. Terutama untuk Waffle, tidakkah ia tahu bahwa sesungguhnya, aku… berbeda?


-

Palembang, 4 Juli 2020
Siti Sonia Aseka

*Akan bersambung ke bagian dua berjudul; Genap

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...