Blogger Perempuan

Blogger Perempuan
Kunjungi laman Blogger Perempuan dan baca tulisan saya melalui link berikut

Rabu, 07 Februari 2024

International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation

International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation

6 Februari 2024


International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation campaign is an effort to end the practice of female genital mutilation (FGM). In 2012 the UN General Assembly designated February 6 as the date to commemorate International Day of Zero Tolerance for Female Genital Mutilation. Reported by the Unicef ​​website, Unicef ​​is collaborating with UNFPA in the Elimination of Female Genital Mutilation program. This was established through interventions in 17 countries where the practice is common.


Tahun ini, peringatan Hari Anti Sunat Perempuan mengambil tema "Her Voice, Her Future".


Lebih dari 200 juta perempuan yang hidup saat ini telah mengalami mutilasi atau sunat. Tahun ini, hampir 4,4 juta anak perempuan berisiko terkena praktik berbahaya FGM, yang setara dengan lebih dari 12 ribu kasus setiap hari.


Data dari UNICEF tahun 2021 memperlihatkan, setidaknya ada lebih dari 200 juta perempuan termasuk anak-anak di 30 negara yang telah menjalani praktik FGM. Indonesia sendiri berada di peringkat ke-3 jumlah kasus FGM terbesar di bawah Mesir dan Etiopia.


Istilah sunat memiliki arti yang berbeda-beda dilihat dari sudut pandang penilainya. Untuk laki-laki, jelas sunat adalah tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruh kulit penutup depan dari penis untuk kepentingan kesehatan. Yang terpenting, praktik ini WAJIB hukumnya dalam Islam.


Namun, berbeda ketika kita bicara soal sunat perempuan. Pengetahuan tentang pemotongan/penghilangan yang didapat dari istilah sunat laki-laki, menjadikan masyarakat kerap berpikir bahwa tindakan tersebut juga harus dilakukan SAMA PERSIS kepada perempuan. Padahal secara bentuk dan fungsi organ laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan.


Para ulama pun memiliki perbedaan pendapat mengenai sunat perempuan. Ada yang mengatakan wajib, sunnah (dianjurkan), dan diperbolehkan (tanpa konsekuensi hukum).


Anjuran dalam Islam pun sudah jelas perihal sunat perempuan (bagi ulama yang memfatwakan bahwa tindakan ini terkategori WAJIB), yaitu; memotong atau melukai sedikit kulit penutup (prepusium) klitoris. Yang pada faktanya tidak dipahami oleh banyak orang. Terlebih, tidak semua anak perempuan mempunyai prepusium yang menutupi klitoris maupun saluran kemih, sehingga sunat dinilai tidak perlu dilakukan pada setiap perempuan.


Klitoris yang dipotong sebagian atau seluruhnya dapat menyebabkan perempuan alpa dalam merasakan rangsangan dan kenikmatan seksual, bahkan orgasme. Yang mana akan berdampak pada penurunan hasrat seksual, nyeri saat berhubungan intim, kesulitan saat penetrasi penis, serta penurunan lubrikasi selama bersanggama.


Sunat perempuan yang disamakan dengan sunat laki-laki, menyebabkan praktik mutilasi organ genital (female genital mutilation) menjamur terutama di daerah-daerah yang masih meyakini aktivitas keagamaan atau kepercayaan tertentu yang dilakukan secara turun temurun.


Tidak adanya pemahaman yang benar tentang sunat perempuan menurut syariat tanpa melibatkan adat istiadat, tradisi, upacara khusus, yang rawan penggunaan alat-alat tidak steril, dapat mengakibatkan penderitaan panjang bagi perempuan. Mulai dari pendarahan, kista, penyakit menular seksual, infeksi saluran kemih, keputihan, bakterial vaginosis, gangguan menstruasi, rasa sakit saat berhubungan seksual, serta peningkatan risiko komplikasi persalinan, dan kematian.


Sunat pada anak perempuan juga berarti menghilangkan dan merusak jaringan genital yang sehat dan normal. Hal ini tentunya berisiko mengganggu fungsi alami tubuh perempuan.


Praktik sunat perempuan dilanggengkan tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat terhadap mitos yang banyaknya mengatasnamakan agama dan tradisi nenek moyang. Salah satu yang masih dipercaya hingga hari ini adalah bahwa sunat perempuan semata dilakukan untuk mengendalikan nafsu seksual atau syahwat perempuan. Tidak sedikit orangtua yang hidup di era modern, merasa harus menyunat anak perempuan mereka dengan dalih melindungi anak dari pergaulan bebas karena nafsu seksualnya telah tunduk sebab telah disunat sedemikian rupa. Orangtua percaya pada zaman dahulu, sunat perempuan menjadikan perempuan tunduk dan betah di rumah, tidak terlibat kehidupan bebas yang melibatkan aktivitas seksual di luar pernikahan atau perzinahan. Padahal, modernisasi telah mengubah zaman dengan teknologi yang di dalamnya terdapat internet, media sosial, platform edukasi, semakin banyak tenaga kesehatan yang mudah dijangkau, ilmu, alat, dan fasilitas kesehatan yang semakin berkembang, serta komunitas, forum, dan kelompok terdidik yang bergerak demi mencerdaskan kehidupan bangsa, menolak pembodohan, demi kemajuan dan peningkatan kualitas generasi penerus.


Orangtua harus berpikiran mengikuti zaman dan membesarkan anak agar mereka kelak dapat mengikuti perkembangan yang ada di sekitarnya. Pola asuh, kebiasaan, percontohan, adalah tanggung jawab orangtua dan merupakan perjalanan panjang yang akan berdampak pada bagaimana cara anak kelak akan berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan, termasuk tentang lingkungan pertemanan dan pergaulan. Menjadi orangtua yang bijak, mengajarkan ilmu agama sedini mungkin, menerapkan batas, disiplin, dan mendengarkan anak, being present sehingga anak merasa dibersamai, didukung, diperhatikan, dan diberi kasih sayang. Hal-hal inilah yang akan menjauhkan anak dari pergaulan bebas, bukannya mutilasi pada alat kelamin mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi

Urgensi Kemahiran Berbahasa Inggris di Era Modernisasi dan Globalisasi Sejak abad ke-18, bahasa Inggris ditetapkan sebagai bahasa Internasio...